Pantun pada mulanya adalah senandung atau puisi rakyat yang dinyanyikan. Dalam kesusastraan, pantun pertama kali muncul dalam Sejarah Melayu dan hikayat-hikayat popular yang sezaman. Kata pantun sendiri mempunyai asal-usul yang cukup panjang dengan persamaan dari bahasa Jawa yaitu kata parik yang berarti pari, artinya paribasa atau peribahasa dalam bahasa Melayu. Arti ini juga berdekatan dengan umpama dan seloka yang berasal dari India.
Sedangkan kata pantun sendiri menurut Dr. R. Brandstetter, seorang berkebangsaan Swiss yang ahli dalam perbandingan bahasa berkata bahwa pantun berasal dari akar kata tun, yang terdapat dalam berbagai bahasa Nusantara, misalnya dalam bahasa Pampanga, tuntun berarti teratur; dalam bahasa Tagalog tonton berarti bercakap menurut aturan tertentu; dalam bahasa Jawa Kuno, tuntun berarti benang dan atuntun yang berarti teratur dan matuntun yang berarti memimpin; dalam bahasa Toba pantun berarti kesopanan atau kehormatan. Dalam bahasa Melayu, pantun berarti quatrain, yaitu sajak berbaris empat, dengan rima a-b-a-b. Sedangkan dalam bahasa Sunda, pantun berarti cerita panjang yang bersanjak dan diiringi oleh musik.
Menurut R. O. Winstedt yang setuju dengan pendapat Brandstetter mengatakan bahwasannya dalam bahasa Nusantara, kata-kata yang mempunyai akar kata yang berarti “baris, garis”, selanjutnya akan mempunyai arti yang baru yaitu “kata-kata yang tersusun” baik dalam bentuk prosa maupun puisi.
Ada satu perkara yang menarik yang kemudian telah diselidiki oleh beberapa orang sarjana, yakni mengenai ada tidaknya hubungan semantik {makna} antara pasangan pertama dengan pasangan kedua pada sebuah pantun. Sebagai contoh adalah pada pantun berikut:
Telur itik dari Sanggora
Pandan terletak dilangkahi
Darahnya titik di Singapura
Badannya terlantar ke Langkawi
Dari pantun di atas menurut Pijnapple dalam satu kertas kerja yang dibacakan di depan Kongres Sarjana Ketimuran VI di Leiden, pada tahun 1883 mengatakan bahwa antara pasangan pertama {biasa disebut sampiran} dan pasangan kedua {biasa disebut isi} mempunyai suatu hubungan yang erat.
Pijnapple, dalam analisisnya pada pantun di atas mengatakan bahwa Sanggora yang terletak di pantai timur Malaya {dekat Siam} sangat jauh letaknya. Tetapi tikar pandan yang terletak di depan kita sangat dekat. Seluruh pantun ini menunjukkan bahwa pembunuhan terjadi jauh dari tempat perkuburan. Tetapi menurut Ch. A. van Ophuijsen bahwa mencari hubungan antara kedua pasangan itu adalah pekerjaan yang sia-sia belaka. Karena ia kemudian memberikan contoh pada suatu pantun yang dirasanya sama sekali tidak mempunyai hubungan antara pasangan yang pertama dengan pasangan yang kedua. Pantunnya adalah sebagai berikut:
Satu, dua, tiga, enam
Enam dan satu jadi tujuh
Buah delima yang ditanam
Buah berangan hanya tumbuh.
Dengan pantun ini, semua pernyataan dari Pijnapple itu terbantah karena tak ada hubungan semantik antara kedua pasangan itu. Tetapi Winstedt tidak setuju dengan pendapat Ophuijsen, ia kemudian memberikan penjelasan mengenai tafsiran baru atas tafsiran Pijnapple atas pantun “telur itik dari Sanggora” yang intinya sangat jauh berbeda dengan apa yang ditafsirkan oleh Pijnapple. Ia menafsirkan pasangan pertama yaitu sebagai berikut:
Telur itik dari Sanggora
(telur itik yang ditetaskan pada ayam melambangkan seorang pengembara yang tiada berteman dan cacat)
Pandan terletak dilangkahi
(tikar pandan yang terletak di depan rumah-rumah orang Melayu yang berada tidak pantas diinjak dengan alas kaki melambangkan seorang wanita yang mau mengikut kita harus kita waspada dalam menerimanya)
jika kemudian dihubungkan dengan pasangan yang kedua menurut tafsiran Pijnapple menurut kami artinya akan menjadi seperti ini:
Seorang pengembara yang sendirian, yang tiada berteman juga cacat bertemu dengan seorang wanita yang mau menjadi istrinya yang kemudian ia dibunuh oleh wanita itu di suatu tempat tetapi kemudian dikuburkan jauh dari tempat ia dibunuh.
Menurut H. Overbeck yang terpengaruh oleh pendapat Abdullah Munsyi tentang pantun ialah bahwasannya pada pasangan pertama itu tidak mempunyai arti, tidak punya hubungan pikiran sama sekali atau hanya untuk menjadi penentu sanjak {rima} pada pasangan kedua.